Bakteri Jadi Penyebab Utama Kasus Keracunan MBG di Indonesia

Kasus keracunan MBG di Indonesia menghebohkan setelah hasil laboratorium mengungkap bakteri Salmonella dan Bacillus cereus sebagai penyebab utama. Simak fakta dan penjelasan ahli.

Baca juga: Polri Dorong Swasembada Pangan dengan Panen Jagung 751 Ribu Ton di Kuartal III

Ribuan Siswa Terdampak Kasus Keracunan MBG

Kasus keracunan MBG (Makan Bergizi Gratis) menimpa ribuan siswa di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa Barat, pada September 2025. Hasil uji laboratorium dari Balai Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat mengungkap adanya bakteri Salmonella dan Bacillus cereus dalam sampel makanan. Prof. Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, menyebut bakteri ini sebagai penyebab utama keracunan. Insiden ini memicu kekhawatiran akan standar higiene dalam program MBG, dengan investigasi lanjutan masih dilakukan untuk memastikan sumber kontaminasi.

Temuan Laboratorium: Bakteri Berbahaya dalam Makanan MBG

Laboratorium Kesehatan Daerah Jawa Barat telah memeriksa 208 sampel makanan dari program MBG. Sekitar 8% di antaranya positif mengandung bakteri penyebab keracunan, terutama Salmonella dan Bacillus cereus. Menurut dr. Ryan Bayusantika Ristandi, Kepala UPTD Labkesda Dinas Kesehatan Jawa Barat, bakteri ini ditemukan pada berbagai jenis makanan, seperti nasi, sayuran, dan daging olahan. “Dari pemeriksaan mikrobiologi, Salmonella dan Bacillus cereus mendominasi, sementara dari segi kimia, nitrit juga ditemukan,” ujarnya, Sabtu (27/9/2025).

Bakteri Salmonella sering dikaitkan dengan makanan berprotein tinggi, seperti daging, unggas, dan telur, sedangkan Bacillus cereus biasanya muncul akibat penyimpanan nasi yang tidak tepat. Temuan ini menunjukkan adanya masalah dalam pengolahan dan penyimpanan makanan pada dapur penyedia MBG.

Penyebab Keracunan: Higiene dan Proses Penyajian Bermasalah

Kasus keracunan MBG di Indonesia, khususnya di Kabupaten Bandung Barat, menunjukkan gejala seperti mual, pusing, muntah, hingga kejang-kejang. Menurut Prof. Tjandra Yoga Aditama, penyebab keracunan makanan bisa berasal dari lima kategori menurut standar WHO: bakteri, virus, parasit, prion, dan zat kimia. Dalam kasus ini, bakteri menjadi penyebab utama, tetapi ia menegaskan pentingnya pemeriksaan menyeluruh untuk mengidentifikasi semua kemungkinan. “Penyelidikan tidak boleh berhenti hanya pada Salmonella dan Bacillus cereus,” katanya.

Dr. Ryan menambahkan bahwa rentang waktu antara penyiapan dan penyajian makanan yang terlalu lama menjadi salah satu faktor utama. “Proses ini memungkinkan bakteri pembusuk berkembang,” jelasnya. Selain itu, kebersihan air, peralatan masak, dan higiene pekerja dapur (food handler) juga berperan besar dalam kasus keracunan MBG. Regulasi yang ada sebenarnya telah mengatur standar kebersihan, tetapi implementasinya tampaknya masih lemah.

Dampak dan Respons Pemerintah

Hingga September 2025, kasus keracunan MBG telah mencapai 70 kejadian dengan total 6.452 korban, mayoritas siswa. Di Bandung Barat saja, lebih dari 1.300 siswa terdampak, dengan sebagian besar mengalami mual, pusing, dan muntah. Meski tidak ada laporan diare, beberapa pasien dilaporkan mengalami sesak napas dan harus dirujuk ke fasilitas kesehatan.

Badan Gizi Nasional (BGN) telah meminta maaf atas kelalaian pengawasan di lapangan. Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, mengakui bahwa kasus di Bandung Barat di luar nalar dan menyoroti adanya tekanan dari politikus untuk menjadi mitra dapur MBG. BGN juga menemukan 45 dapur MBG tidak memenuhi standar operasional prosedur (SOP), dengan 40 di antaranya ditutup sementara.

Baca juga: Sidang Perdana Kasus Korupsi Pagar Laut Desa Kohod Digelar 30 September

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari menyebut empat faktor utama penyebab keracunan: higiene makanan, suhu pengolahan, kontaminasi oleh petugas dapur, dan alergi pada penerima manfaat. Kementerian Kesehatan dan BPOM diminta memperketat pengawasan pada tahap produksi, distribusi, dan penyajian makanan untuk mencegah kasus berulang.

Investigasi dan Tindakan Hukum

Aparat hukum kini membidik pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kelalaian dalam program MBG. Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, menyebutkan bahwa bahan baku ayam tidak segar diduga menjadi salah satu pemicu di Cipongkor, Bandung Barat. Investigasi masih berlangsung untuk menentukan apakah ada unsur kesengajaan atau sabotase, yang dapat mengarah pada sanksi pidana. Jika tidak, sanksi administrasi hingga penutupan dapur penyedia bisa diterapkan.

Di wilayah lain, seperti Gunungkidul dan Sukabumi, hasil laboratorium juga mengungkap kontaminasi bakteri seperti Klebsiella pneumoniae, Enterobacter cloacae, dan bahkan jamur Coccidioides immitis, yang dianggap tidak lazim di Indonesia. Ahli menyarankan pengambilan sampel dari feses atau muntahan korban untuk hasil yang lebih akurat.

Perbaikan Sistem untuk Cegah Kasus Keracunan MBG

Kasus keracunan MBG di Indonesia menggarisbawahi pentingnya standar higiene dan pengawasan ketat dalam program makanan gratis. Temuan bakteri Salmonella, Bacillus cereus, dan kontaminan lain menunjukkan adanya kelemahan dalam pengolahan dan distribusi makanan. Pemerintah, melalui BGN dan KSP, berjanji memperbaiki sistem, termasuk menutup dapur yang tidak memenuhi SOP dan memperketat pengawasan. Prof. Hardinsyah, ahli gizi, menegaskan bahwa masalah utama adalah cemaran bakteri, yang dapat dicegah dengan praktik kebersihan yang lebih baik. Ke depan, investigasi menyeluruh dan penerapan sertifikasi higiene sanitasi diharapkan dapat meminimalkan risiko serupa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *