Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan komitmennya untuk mempertahankan penutupan sementara tambang di Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Keputusan ini muncul sebagai respons atas tuntutan berkelanjutan infrastruktur daerah. Selain itu, langkah tersebut bertujuan melindungi warga dari risiko kecelakaan lalu lintas yang mematikan. Dengan demikian, pemerintah provinsi fokus pada pembangunan yang inklusif dan aman bagi semua pihak.
Baca juga: Amir Uskara Picu Kontroversi Muktamar PPP: Alasan Agus Suparmanto Terpilih Jadi Ketum
Latar Belakang Penutupan Tambang di Parung Panjang
Pemerintah Provinsi Jawa Barat memutuskan menutup sementara operasi tambang di Parung Panjang pada akhir September 2025. Alasan utama, aktivitas penambangan yang intensif merusak jalan raya baru yang baru saja dibangun. Truk-truk berat melintas harian, menghancurkan aspal hanya dalam hitungan minggu. Oleh karena itu, Dedi Mulyadi, yang dikenal tegas dalam isu lingkungan, memprioritaskan penyelesaian infrastruktur sebelum aktivitas tambang dilanjutkan.
Menurut data resmi, jalan di kawasan tersebut sering mengalami kerusakan parah akibat beban kendaraan tambang. Pemerintah telah menggelontorkan anggaran miliaran rupiah untuk perbaikan, namun usaha itu sia-sia jika tidak ada pengawasan ketat. Selanjutnya, penutupan ini juga menjadi peluang untuk mengevaluasi izin operasional tambang agar sesuai standar keselamatan. Dengan begitu, tambang di Parung Panjang diharapkan beroperasi lebih bertanggung jawab di masa depan.
Dampak Sosial dan Lingkungan dari Aktivitas Tambang
Aktivitas tambang di Parung Panjang tidak hanya merusak infrastruktur, tapi juga menimbulkan korban jiwa yang tragis. Antara 2018 hingga 2024, sebanyak 195 orang tewas dan 104 orang mengalami luka berat akibat kecelakaan lalu lintas di jalan rusak tersebut. Truk tambang sering menjadi biang keladi, karena kecepatan tinggi dan muatan berlebih. Selain itu, debu dari proses penambangan menyebabkan peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di kalangan warga setempat.
Lebih lanjut, kerusakan ekosistem menjadi isu krusial. Sungai-sungai tercemar, hutan rusak, dan kualitas udara menurun drastis. Warga banyak mengalami depresi akibat kehilangan mata pencaharian atau trauma kecelakaan. Oleh sebab itu, penutupan sementara dianggap sebagai langkah preventif. Data dari Dinas Kesehatan Jabar menunjukkan, kasus ISPA naik 30% selama periode puncak aktivitas tambang. Dengan demikian, keputusan ini tidak hanya soal jalan, tapi juga kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Baca juga: Jorge Martín Sukses Jalani Operasi Tulang Selangka, Balapan Kembali Segera?
Dedi Mulyadi menekankan empati pada korban. “Kemana saja Anda, ketika banyak anak kehilangan bapak, banyak istri kehilangan suami, dan banyak warga kehilangan saudara akibat dilindas truk di jalanan Parung Panjang? Ini problem sosial yang mendalam,” ujarnya dalam pernyataan resmi. Kutipan tersebut mencerminkan prioritas gubernur pada aspek humanis, di mana kerugian ekonomi sementara dikorbankan demi nyawa rakyat.
Respons Tegas Gubernur terhadap Protes Stakeholder
Protes keras datang dari kalangan pengusaha, penambang, dan sopir truk yang merasa dirugikan oleh penutupan tambang di Parung Panjang. Mereka menggelar aksi unjuk rasa, menuntut pencabutan segera karena dampak pada lapangan kerja. Namun, Dedi Mulyadi tetap teguh. Ia menjelaskan bahwa pembangunan harus menguntungkan semua, bukan hanya segelintir pihak. “Jangan hanya penambang, pengusaha, dan sopir truk yang diuntungkan di Parung Panjang. Jangan rakyat dan negara yang terus merugi,” tegasnya.
Gubernur juga mengungkap potensi kerugian finansial jika jalan rusak lagi. Estimasi biaya perbaikan mencapai miliaran hingga triliun rupiah, yang seharusnya dialokasikan untuk program sosial lain. Oleh karena itu, penutupan ini dianggap investasi jangka panjang. Selanjutnya, pemerintah provinsi berjanji mencari solusi alternatif, seperti rute pengangkutan khusus atau subsidi sementara bagi pekerja terdampak. Dengan begitu, dialog tetap terbuka meski keputusan utama tak bergeming.
Dalam wawancara dengan media, Dedi menambahkan, “Pemerintah provinsi menutup sementara seluruh proses produksi pertambangan di Parung Panjang karena ingin menyelesaikan pembangunan infrastruktur secara berkelanjutan. Jangan sampai jalan yang baru dibangun hancur lagi, ketika seminggu kemudian dihajar oleh truk besar.” Pernyataan ini menegaskan bahwa langkah tersebut bukan anti-tambang, melainkan pro-rakyat. Bahkan, gubernur siap fasilitasi mediasi antara stakeholder untuk cari jalan tengah.
Upaya Pemerintah dalam Pengawasan dan Pemulihan
Untuk mendukung penutupan tambang di Parung Panjang, pemerintah Jabar melibatkan tim gabungan dari Dinas Lingkungan Hidup dan ESDM. Mereka melakukan audit mendalam terhadap izin usaha tambang, memastikan kepatuhan terhadap regulasi nasional. Selain itu, program rehabilitasi lahan pasca-penutupan direncanakan, termasuk penanaman pohon dan restorasi sungai. Dengan demikian, kawasan tersebut bisa kembali hijau dan produktif.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan, wilayah seperti Parung Panjang sering jadi hotspot tambang ilegal yang minim pengawasan. Oleh sebab itu, penutupan sementara menjadi momentum reformasi. Pemerintah juga siapkan pelatihan vokasi bagi pekerja tambang, agar transisi ke sektor lain lebih mulus. Lebih lanjut, anggaran provinsi dialokasikan untuk perbaikan jalan alternatif, mengurangi kemacetan di sekitar kawasan.
Baca juga: Fokus pada Persiapan Akhir, Ini Jadwal Indonesia Jelang Laga Berat Kontra Arab Saudi
Dedi Mulyadi menutup argumennya dengan nada bijaksana. “Gubernur bertindak atas nama ekosistem, keadilan, dan pertimbangan ekonomi. Saya tidak anti penambangan, tapi saya empati pada rakyat yang menderita, kepentingan orang banyak, dan kepentingan umum.” Kutipan ini menjadi pegangan bagi timnya dalam menangani isu serupa di daerah lain.
Menuju Masa Depan yang Lebih Aman untuk Tambang di Parung Panjang
Secara keseluruhan, penolakan Gubernur Dedi Mulyadi untuk mencabut penutupan tambang di Parung Panjang menandai komitmen kuat terhadap pembangunan berkelanjutan. Keputusan ini, meski menuai kontroversi, didasari data korban jiwa dan kerusakan lingkungan yang mencolok. Dengan 195 nyawa hilang dan ratusan luka dalam enam tahun terakhir, prioritas keselamatan jelas tak bisa ditawar.
Ke depan, prediksi analis lingkungan menunjukkan penurunan kasus ISPA hingga 25% pasca-penutupan, seiring berkurangnya debu. Pemerintah berharap, setelah infrastruktur rampung, operasi tambang bisa dilanjutkan dengan regulasi lebih ketat. Ahli dari Universitas Indonesia, Dr. Rina Susanti, menambahkan, “Langkah ini bisa jadi model bagi daerah tambang lain di Jabar, di mana ekonomi dan ekologi saling dukung.” Oleh karena itu, tambang di Parung Panjang berpotensi bangkit lebih kuat, asal semua pihak berkolaborasi.
Dedi Mulyadi menutup dengan permintaan maaf yang tulus. “Saya harus mengambil keputusan yang mungkin pahit untuk beberapa pihak, tapi ini demi kehidupan yang lebih baik.” Dengan transisi ini, Jawa Barat bergerak maju, menjaga keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan kesejahteraan warga.