Hacker Bjorka, yang diduga meretas data 4,9 juta nasabah bank, ternyata aktif di dark web sejak 2020 dengan ganti nama berulang kali. Polisi tangkap pelaku di Sulawesi Utara; ancaman hukuman hingga 12 tahun penjara. Kasus ini ungkap jaringan transaksi data ilegal via kripto.
Baca juga: Sambut Ulang Tahun ke-27 Google dengan Doodle Interaktif Bertema Nostalgia
Polisi Metro Jaya menangkap hacker Bjorka yang mengaku meretas data 4,9 juta nasabah bank. Pelaku, berinisial WFT berusia 22 tahun asal Minahasa, Sulawesi Utara, aktif di dark web sejak 2020. Selain itu, ia sering mengganti nama pengguna untuk menyulitkan pelacakan. Dengan demikian, kasus ini menyoroti ancaman siber yang semakin canggih di Indonesia.
Profil Hacker Bjorka dan Awal Kariernya di Dark Web
Hacker Bjorka memulai petualangannya di dunia maya gelap sejak 2020. WFT, nama asli pelaku, mengeksplorasi dark web untuk transaksi data ilegal. Ia membeli dan menjual informasi sensitif dari institusi nasional maupun internasional. Oleh karena itu, aktivitasnya tidak hanya merugikan perusahaan, tapi juga mengancam privasi jutaan orang.
Pelaku menggunakan kripto sebagai alat pembayaran utama. Transaksi ini berlangsung di forum-forum tersembunyi, di mana pembeli dari berbagai negara ikut serta. Selanjutnya, WFT mengaku meraup puluhan juta rupiah per penjualan data, tergantung permintaan pasar. Meski demikian, jumlah pasti keuntungannya masih diselidiki polisi. Dengan begitu, dark web menjadi ladang subur bagi hacker Bjorka untuk berkembang tanpa hambatan awal.
Penangkapan dilakukan pada 23 September 2025 di Desa Totolan, Kecamatan Kakas Barat, Minahasa. Laporan dari sebuah bank memicu penyelidikan intensif. Akhirnya, tim siber Polda Metro Jaya bergerak cepat. Oleh sebab itu, WFT kini ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Strategi Penyamaran: Ganti Nama Berulang Kali
Hacker Bjorka dikenal licik dalam menyembunyikan jejak digitalnya. Sejak 2020, ia sering berganti nama pengguna untuk menghindari radar aparat. Misalnya, dari Bjorka menjadi SkyWave, lalu Shint Hunter, dan terakhir Opposite6890 pada Agustus 2025. Selain itu, pelaku memanfaatkan berbagai email serta nomor telepon palsu. Dengan demikian, pelacakan menjadi tantangan besar bagi penegak hukum.
Menurut AKBP Fian Yunus, Wakil Direktur Siber Direktorat Siber Polda Metro Jaya, tujuan utama perubahan nama ini adalah penyamaranaan. “Jadi tujuan pelaku melakukan perubahan nama ini adalah untuk menyamarkan dirinya, untuk menyamarkan dirinya dengan membuat menggunakan berbagai macam, tentunya e-mail atau nomor telepon atau apa pun itu sehingga yang bersangkutan sangat susah untuk dilacak oleh aparat penegak hukum,” ujarnya dalam konferensi pers. Oleh karena itu, strategi ini memaksa polisi bekerja ekstra, termasuk analisis forensik digital mendalam.
Lebih lanjut, hacker Bjorka memposting klaim retasannya di akun X @bjorkanesiaa. Ia membanggakan peretasan data 4,9 juta nasabah bank, yang mencakup informasi pribadi dan finansial. Namun, tindakan ini justru menjadi petunjuk krusial bagi penyidik. Dengan begitu, keangkuhan digital pelaku akhirnya membalikkan keadaan.
Kasus Retas Data Bank dan Dampaknya yang Luas
Fokus utama kasus hacker Bjorka adalah peretasan data 4,9 juta nasabah bank. Akses ilegal ini dilaporkan oleh pihak bank terkait, memicu operasi tangkap. Pelaku mengklaim berhasil menembus sistem keamanan, lalu menjual data tersebut di dark web. Selain itu, transaksi melibatkan perusahaan kesehatan dan firma swasta, baik domestik maupun asing.
Data yang dicuri mencakup detail sensitif seperti nomor rekening dan identitas pribadi. Oleh karena itu, risiko pencurian identitas dan penipuan meningkat tajam. Polisi menyatakan, penjualan data ini dilakukan melalui forum dark web khusus. Pembayaran selalu dalam bentuk cryptocurrency, yang sulit dilacak. Dengan demikian, korban potensial tidak hanya nasabah bank, tapi juga ribuan individu lain.
AKBP Fian Yunus menambahkan, “Pelaku kita ini bermain di dark web tersebut, di mana di dark web tersebut yang bersangkutan sudah mulai mengeksplor sejak tahun 2020.” Pernyataan ini menegaskan kronologi panjang aktivitas pelaku. Selanjutnya, meski keuntungan per transaksi mencapai puluhan juta rupiah, fakta lengkap masih digali. Oleh sebab itu, kasus ini menjadi pelajaran bagi sektor keuangan untuk tingkatkan keamanan siber.
Upaya Polisi dan Kerja Sama Internasional
Penangkapan hacker Bjorka melibatkan koordinasi lintas daerah. Tim siber Polda Metro Jaya bekerja sama dengan Polres Minahasa untuk eksekusi. Selain itu, analisis jejak digital menjadi kunci sukses operasi. Dengan begitu, pelaku tidak sempat kabur meski sering ganti identitas.
Pasal-pasal yang diterapkan termasuk Pasal 46 juncto Pasal 30, Pasal 48 juncto Pasal 32, dan Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35 UU ITE. Ancaman hukuman hingga 12 tahun mencerminkan keseriusan negara terhadap kejahatan siber. Lebih lanjut, polisi berencana gali jaringan lebih dalam, termasuk pembeli data di luar negeri. Oleh karena itu, kasus ini berpotensi berkembang menjadi operasi besar.
Dalam konferensi pers pada 2 Oktober 2025, pihak berwenang menekankan pencegahan dini. “Berapa uang yang didapatkan ini juga kita belum bisa mendapatkan fakta secara jelas. Tapi pengakuannya sekali dia menjual data itu kurang lebih nilainya puluhan juta,” kata AKBP Fian Yunus. Dengan demikian, transparansi menjadi senjata polisi untuk cegah imitasi.
Tantangan Dark Web dan Masa Depan Penegakan Hukum Siber
Dark web tetap menjadi momok bagi keamanan nasional. Hacker Bjorka hanyalah satu dari banyak aktor yang eksploitasi platform ini. Sejak 2020, transaksi ilegal di sana melonjak, termasuk data curian. Oleh karena itu, pemerintah dorong regulasi kripto lebih ketat untuk blokir alur dana.
Ke depan, prediksi ahli siber menunjukkan peningkatan serangan serupa hingga 30% pada 2026, menurut laporan BSSN. Dr. Andi Wijaya, pakar keamanan siber dari UI, menyatakan, “Kasus seperti hacker Bjorka harus jadi momentum reformasi, di mana kolaborasi internasional kunci utama.” Selain itu, perusahaan disarankan adopsi enkripsi canggih. Dengan begitu, Indonesia bisa kurangi celah rentan.
Rangkuman Kasus Hacker Bjorka dan Implikasinya
Secara keseluruhan, penangkapan hacker Bjorka menutup babak gelap sejak 2020 di dark web. Pelaku, WFT, retas 4,9 juta data nasabah bank dan jual via kripto, sambil ganti nama berulang. Ancaman 12 tahun penjara menanti, sementara polisi gali jaringan lebih luas. Dengan demikian, kasus ini ingatkan betapa rapuhnya keamanan digital saat ini.
Ke depan, prediksi menjanjikan era pengawasan lebih ketat. Pemerintah dan swasta harus kolaborasi cegah ancaman serupa. Seperti kata AKBP Fian Yunus, eksplorasi dark web sejak dini berujung bencana. Oleh karena itu, edukasi siber menjadi investasi krusial. Hacker Bjorka mungkin tertangkap, tapi perang melawan kejahatan maya terus berlanjut.