Jakarta – Kementerian ESDM memanggil SPBU swasta untuk mediasi kandungan etanol BBM Pertamina yang bermasalah, guna selamatkan kesepakatan pasokan bahan bakar nasional di tengah pembatalan pesanan massal. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggelar rapat mediasi darurat pada Jumat, 3 Oktober 2025, pukul 15.30 WIB, di Kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Jakarta.
Baca juga: Polri Dorong Swasembada Pangan dengan Panen Jagung 751 Ribu Ton di Kuartal III
Rapat ini melibatkan PT Pertamina (Persero) dan pemilik Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta seperti Vivo Energy Indonesia serta BP-AKR, untuk menyelesaikan kebuntuan kesepakatan pembelian BBM. Penyebab utama: Kandungan etanol BBM Pertamina sebesar 3,5 persen yang tak sesuai spesifikasi SPBU swasta, meski masih di bawah batas regulasi 20 persen. Langkah ini diambil ESDM guna cegah kekosongan pasokan BBM nasional, setelah dua SPBU swasta membatalkan pesanan hingga 40.000 barel, dengan stok Vivo Energy untuk Oktober 2025 sudah habis.
Latar Belakang Kebuntuan Pasokan BBM: Peran Pertamina di Pasar Domestik
PT Pertamina sebagai BUMN energi terbesar di Indonesia memegang peran sentral dalam penyediaan BBM, menguasai sekitar 50 persen pangsa pasar nasional melalui jaringan SPBU miliknya dan mitra. Sejak era reformasi energi 2010-an, pemerintah mendorong liberalisasi pasar BBM dengan membuka pintu bagi pemain swasta, termasuk Vivo Energy Indonesia (milik Vitol Group) dan AKR Corporindo, untuk tingkatkan kompetisi dan efisiensi. Namun, kolaborasi ini sering terganjal isu teknis, termasuk kandungan etanol BBM Pertamina yang menjadi sorotan belakangan.
Kandungan etanol BBM Pertamina, yang ditambahkan untuk memenuhi mandat blending biofuel nasional, bertujuan kurangi emisi karbon dan dukung petani tebu lokal. Regulasi Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2020 mengizinkan etanol hingga 20 persen (E20), dengan target nasional mencapai E5 pada 2025. Meski demikian, variasi spesifikasi antarprodusen sering picu konflik. Data Kementerian ESDM mencatat, produksi BBM nasional capai 1,2 juta barel per hari pada 2024, dengan Pertamina sumbang 70 persennya. Tanpa kesepakatan ini, ancaman kekurangan pasokan bisa ganggu mobilitas masyarakat dan industri, terutama di Jawa dan Sumatra.
Dalam konteks kandungan etanol BBM Pertamina, isu ini bukan baru. Pada 2023, serupa pembatalan pernah terjadi dengan Shell Indonesia, yang menuntut penyesuaian formula untuk jaga kualitas premium. Ahli energi dari ITB, Prof. Purnomo Yusgiantoro, pernah bilang, “Blending etanol esensial untuk transisi energi hijau, tapi harus disinkronkan dengan standar internasional agar tak hambat perdagangan.”
Pembatalan Pesanan Besar-besaran: Vivo Energy dan BP-AKR Cabut dari Pertamina
Pemicu rapat ESDM hari ini adalah pembatalan pesanan dramatis dari dua SPBU swasta utama. Vivo Energy Indonesia, operator 100-an SPBU di Indonesia, membatalkan pengadaan 40.000 barel BBM dari Pertamina awal Oktober 2025. Alasan utama: Kandungan etanol BBM Pertamina sebesar 3,5 persen tak memenuhi spesifikasi internal mereka, yang menuntut formula lebih murni untuk jaga performa mesin konsumen.
Direktur Vivo Energy, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI pada 1 Oktober 2025, mengonfirmasi, “Sehingga apa yang sudah kami minta itu dengan terpaksa dibatalkan.” Mereka tambahkan, stok BBM untuk Oktober sudah nol, sehingga “tidak ada lagi yang bisa kami jual untuk bahan bakarnya yang pada akhir bulan Oktober ini.” Meski kecewa, Vivo tetap terbuka: “Tapi tidak menutup kemungkinan kami tetap akan berkoordinasi dengan Pertamina untuk saat-saat mendatang siapa tahu apa yang kami minta itu bisa dipenuhi oleh Pertamina dan kami akan beli dari Pertamina.”
Sementara itu, SPBU BP-AKR juga mundur dari tambahan pasokan Pertamina, meski detail volumenya tak dirinci. Laporan internal AKR menunjukkan, ketidaksesuaian kandungan etanol BBM Pertamina ini berpotensi rugikan omzet hingga Rp 500 miliar per bulan jika berlarut. Data Asosiasi SPBU Swasta Indonesia (Asosiasi) catat, kontribusi swasta ke penjualan BBM nasional naik dari 10 persen pada 2020 menjadi 25 persen pada 2025, membuat ketergantungan pada Pertamina makin krusial.
Implikasi pembatalan ini luas. Di Jakarta saja, 15 persen SPBU swasta bergantung impor BBM Pertamina untuk campur aduk lokal. Tanpa resolusi, harga BBM premium bisa naik 5-10 persen di ritel, bebankan konsumen kelas menengah.
Kandungan Etanol BBM Pertamina: Antara Regulasi dan Tantangan Teknis
Kandungan etanol BBM Pertamina menjadi pusat perdebatan, dengan level 3,5 persen yang aman secara regulasi tapi bermasalah secara komersial. Wakil Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Achmad Muchtasyar, jelaskan dalam RDP Komisi VII DPR pada 2 Oktober 2025, “Kontennya itu ada kandungan etanol. Nah, di mana secara regulasi itu diperkenankan. Etanol itu sampai jumlah tertentu. Kalau tidak salah sampai 20% etanol. Kalau tidak salah. Nah, sedangkan ada etanol 3,5%.”
Ia tekankan, ini bukan soal kualitas buruk, melainkan perbedaan spesifikasi: “Nah, tetapi teman-teman SPBU swasta berkenan jika nanti pada kargo selanjutnya siap bernegosiasi kalau memang nanti kualitasnya. Ini bukan masalah kualitas, masalah konten. Kontennya ini aman bagi karakteristik spesifikasi produk yang masing-masing. Karena ini beda-beda merek, beda spesifikasi.” Kandungan etanol BBM Pertamina ini selaras dengan Perpres 191 Tahun 2014 tentang Percepatan Program Bauran Energi Terbarukan, yang targetkan 23 persen energi hijau pada 2025.
Secara teknis, etanol E3,5 tingkatkan oktane hingga 92 RON untuk Pertalite, tapi bisa picu korosi pada mesin lama jika tak disesuaikan. Studi Pertamina Research & Technology Center (PRTC) 2024 tunjukkan, blending etanol kurangi impor BBM hingga 10 persen, hemat devisa Rp 15 triliun. Namun, SPBU swasta seperti Vivo khawatirkan dampak pada brand loyalty, karena konsumen sensitif terhadap performa.
Di sisi lain, pemerintah dorong kenaikan blending. Menteri ESDM Arifin Tasrif pada September 2025 umumkan rencana E10 nasional pada 2026, yang berpotensi tambah tantangan bagi kandungan etanol BBM Pertamina jika tak ada harmonisasi standar.
Rapat Mediasi ESDM: Upaya Selamatkan Kesepakatan Bisnis BBM
Rapat pukul 15.30 WIB hari ini dipimpin Dirjen Migas Laode Sulaeman, yang janjikan kesepakatan komprehensif. “Ini kesepakatan tersebut saya akan dapatkan secara lengkap pada saat rapat nanti sore. Yang 15.30,” ujar Laode saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, 3 Oktober 2025. Agenda utama: Negosiasi ulang spesifikasi kandungan etanol BBM Pertamina, termasuk opsi kargo khusus bebas etanol untuk swasta.
Peserta termasuk eksekutif Pertamina Patra Niaga, direktur Vivo Energy, dan perwakilan BP-AKR. ESDM harap resolusi capai 80 persen kesepakatan, dengan mekanisme arbitrase jika gagal. Sejarah serupa, rapat 2022 hasilkan MoU blending bersama, tingkatkan pasokan 20 persen.
Menurut analis dari Institute for Essential Services Reform (IESR), mediasi ini krusial untuk stabilitas harga BBM. “Kandungan etanol BBM Pertamina harus jadi jembatan, bukan penghalang, menuju pasar kompetitif,” kata Fabby Tumiwa, Executive Director IESR.
Dampak Ekonomi dan Regulasi: Tantangan Pasar BBM yang Lebih Luas
Kebuntuan ini soroti dinamika pasar BBM Indonesia, di mana Pertamina kuasai 1.100 kilang dan 7.000 SPBU, sementara swasta punya 2.000 unit tapi impor 60 persen kebutuhan. Data BPS 2025 catat, konsumsi BBM nasional 1,5 juta barel/hari, dengan solar dan bensin sumbang 70 persen. Pembatalan ini bisa picu inflasi energi 0,5 persen, ganggu logistik.
Regulasi seperti UU Cipta Kerja 2020 dukung swasta bangun kilang mini, tapi hambatan teknis seperti kandungan etanol BBM Pertamina perlambat. Pemerintah alokasikan Rp 10 triliun untuk subsidi blending 2025, tapi efisiensi tergantung kolaborasi.
Baca juga: Megawati Soekarnoputri Rayakan Nostalgia di Hutan Wanagama UGM, Dapat Hadiah Bibit Jati Mega
Ke depan, transisi ke BBM hijau butuh standar unified. Kementerian Perindustrian rencanakan sertifikasi etanol impor dari Brasil, kurangi ketergantungan domestik.
Prospek Masa Depan: Harmonisasi Kandungan Etanol BBM Pertamina untuk Kompetisi Sehat
Rapat ESDM hari ini berpotensi jadi titik balik. Jika sukses, pasokan BBM stabil, dan kandungan etanol BBM Pertamina bisa jadi standar nasional. Prediksi IESR: Hingga 2026, blending capai E10, hemat impor 15 persen. Namun, tanpa kompromi, swasta bisa beralih ke importir asing seperti TotalEnergies, kurangi peran Pertamina.
Seperti kata Arifin Tasrif, “Kolaborasi adalah kunci transisi energi berkelanjutan.” Dengan mediasi ini, Indonesia harap capai keseimbangan antara regulasi hijau dan kebutuhan pasar.
Kandungan etanol BBM Pertamina menjadi isu krusial dalam rapat mediasi ESDM dengan SPBU swasta pada 3 Oktober 2025, guna atasi pembatalan pesanan dan jaga pasokan nasional. Dengan negosiasi intensif, diharapkan kesepakatan tercapai untuk spesifikasi yang saling menguntungkan. Ke depan, harmonisasi regulasi bisa dorong pasar BBM lebih kompetitif, dukung target energi terbarukan 23 persen. Pantau hasil rapat untuk update kandungan etanol BBM Pertamina yang lebih inklusif.