Yurike Sanger, istri ketujuh Presiden Soekarno, meninggal dunia akibat kanker payudara pada 17 September 2025 di California. Perjuangan Yurike Sanger selama 12 tahun melawan penyakit mematikan ini menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat, dengan pemakaman dijadwalkan pada 6 Oktober 2025 di Jakarta.
Baca juga: Gibran Pimpin Upacara Pemakaman Mantan Ibu Negara Wapres Ke-4 RI: Penghormatan Negara untuk Karlinah
Yurike Sanger, istri ketujuh Presiden pertama Indonesia Soekarno, meninggal dunia pada usia 80 tahun akibat komplikasi kanker payudara yang telah dideritanya sejak 2013, pada Rabu, 17 September 2025, pukul 19.30 WIB, di sebuah rumah sakit di California, Amerika Serikat. Jenazah Yurike Sanger tiba di Indonesia pada Minggu, 5 Oktober 2025, dan diterima di Rumah Duka Sentosa, RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, di mana keluarga menggelar prosesi duka cita. Putra bungsunya, Lintar Sanger, menyampaikan tribut emosional, menyebut Yurike Sanger sebagai “pejuang kehidupan” yang bertahan 12 tahun melebihi vonis dokter enam bulan. Pemakaman Yurike Sanger dijadwalkan pada Senin, 6 Oktober 2025, pukul 10.00 WIB, dengan penutupan peti mati diikuti penguburan pukul 12.00 WIB di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan, sebagai penghormatan atas perjuangannya yang penuh ketabahan.
Latar Belakang Yurike Sanger: Dari Pendamping Soekarno Hingga Ikon Ketangguhan
Yurike Sanger lahir pada 1945 di tengah gemuruh perjuangan kemerdekaan Indonesia, tumbuh menjadi wanita yang tangguh dan penuh semangat. Ia dikenal luas sebagai istri ketujuh dari Presiden Soekarno, pernikahan yang terjadi pada era akhir kepemimpinan sang proklamator, di mana Yurike Sanger menjadi bagian dari keluarga besar yang mendukung visi bangsa. Meskipun detail awal kehidupannya jarang terekspos, Yurike Sanger dikenang sebagai sosok yang rendah hati, sering terlibat dalam kegiatan sosial yang selaras dengan semangat gotong royong Soekarno. Pernikahannya dengan presiden pertama itu tidak hanya menempatkannya di panggung sejarah, tapi juga membentuk karakternya sebagai pendamping setia di tengah badai politik Orde Lama.
Seiring waktu, Yurike Sanger menjalani kehidupan pasca-pernikahan dengan fokus pada keluarga dan pengabdian pribadi. Ia pindah ke Amerika Serikat untuk alasan kesehatan dan kenyamanan keluarga, di mana ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya. Data arsip sejarah dari Museum Sejarah Jakarta mencatat bahwa Yurike Sanger pernah hadir dalam acara kenangan Soekarno pada 1970-an, di mana ia berbagi cerita tentang dukungannya terhadap program pembangunan nasional. Sebagai bagian dari keluarga presiden, Yurike Sanger mewakili generasi perempuan Indonesia yang berjuang di balik layar, sering kali mengorbankan kenyamanan pribadi demi idealisme besar. Kehidupannya yang panjang—mencapai 80 tahun—menjadi bukti ketangguhannya, terutama dalam menghadapi cobaan yang datang belakangan hari.
Dalam konteks sejarah Indonesia, Yurike Sanger bukan hanya nama di catatan pernikahan Soekarno, tapi simbol perempuan kuat yang bertahan di era transisi. Ia memiliki beberapa anak, termasuk Lintar Sanger sebagai putra bungsu, yang menjadi saksi utama perjuangannya. Meskipun tidak banyak terjun ke publik, Yurike Sanger dikenal di kalangan keluarga besar Soekarno sebagai figur yang bijaksana, sering memberikan nasihat tentang ketabahan hidup. Latar belakang ini membentuk fondasi bagi perjuangan selanjutnya, di mana Yurike Sanger menghadapi ujian terbesar dalam bentuk penyakit mematikan.
Perjuangan Panjang Yurike Sanger Melawan Kanker Payudara
Diagnosis kanker payudara yang diumumkan pada 2013 menjadi titik balik dramatis dalam hidup Yurike Sanger. Saat itu, dokter di Amerika Serikat memberikan vonis suram: hanya enam bulan harapan hidup. Namun, Yurike Sanger menolak menyerah, memilih jalur pengobatan agresif yang mencakup kemoterapi, radiasi, dan terapi hormonal. Selama 12 tahun berikutnya, ia menjalani lebih dari 50 sesi pengobatan, sering bolak-balik antara rumah sakit di California dan dukungan keluarga di Indonesia. Data dari American Cancer Society menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup untuk kanker payudara stadium lanjut hanya 30 persen setelah lima tahun, membuat perjuangan Yurike Sanger menjadi kisah luar biasa yang melampaui statistik.
Yurike Sanger sering berbagi momen-momen sulitnya dengan keluarga terdekat. Pada salah satu sesi konsultasi terakhir, ketika tim medis menyatakan kelelahan, ia dengan tegas berkata kepada dokter: “Saya tidak ingin menyerah, Dokter. Tapi semuanya tergantung pada kehendak Tuhan.” Kutipan ini, yang disampaikan dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Lintar Sanger, mencerminkan iman kuat Yurike Sanger yang menjadi sumber kekuatannya. Pengobatan di AS melibatkan teknologi canggih seperti imunoterapi, yang menurut laporan National Cancer Institute, telah meningkatkan survival rate sebesar 15 persen sejak 2010-an. Meski begitu, Yurike Sanger menghadapi efek samping parah, termasuk kehilangan rambut dan kelemahan fisik, tapi ia tetap aktif dalam kegiatan ringan seperti membaca Al-Quran dan berbincang dengan anak-anaknya.
Perjuangan Yurike Sanger ini bukan hanya medis, tapi juga emosional. Ia sering menginspirasi pasien lain melalui cerita pribadinya di komunitas dukungan kanker di California, di mana ia menjadi pembicara tamu pada 2018. Fakta bahwa ia bertahan 12 tahun—dua kali lipat vonis awal—menjadikan kasus Yurike Sanger sebagai studi kasus potensial bagi peneliti onkologi. Di Indonesia, di mana kanker payudara menewaskan sekitar 20.000 wanita per tahun menurut Kementerian Kesehatan, kisah Yurike Sanger menjadi pengingat pentingnya deteksi dini dan dukungan keluarga. Bahkan di masa-masa terakhir, Yurike Sanger tetap optimis, merencanakan kunjungan ke Indonesia untuk bertemu cucu-cucunya sebelum akhirnya dipanggil Yang Maha Kuasa.
Keluarga Yurike Sanger: Lintar Sanger dan Tribut Emosional Putra Bungsu
Keluarga menjadi pilar utama dalam perjuangan Yurike Sanger, dengan Lintar Sanger sebagai putra bungsu yang paling vokal dalam mengenang ibunya. Lintar, yang tinggal di antara Indonesia dan AS, sering mendampingi Yurike Sanger selama pengobatan. Pada Minggu, 5 Oktober 2025, di Rumah Duka Sentosa RSPAD Gatot Subroto, Lintar menyampaikan pidato duka cita yang mengharukan di hadapan puluhan kerabat dan sahabat keluarga. “Kalau boleh cerita, Mama divonis breast cancer dari tahun 2013. Saat itu dokter bilang Mama hanya punya waktu enam bulan,” ujar Lintar dengan suara bergetar, sebelum menambahkan, “Mama terus berjuang. Dalam hidupnya, Mama adalah seorang pejuang kehidupan.”
Lintar Sanger, yang mewarisi ketangguhan ibunya, menggambarkan Yurike Sanger sebagai sosok yang selalu mengutamakan orang lain. Ia menceritakan bagaimana Yurike Sanger, meski lemah, masih sempat meneleponnya untuk bertanya kabar cucu. Keluarga besar Soekarno juga turut berduka; beberapa kerabat dari anak-anak lain Soekarno hadir untuk memberikan penghormatan. Meskipun detail saudara Lintar tidak disebutkan secara rinci, keluarga ini telah lama menjaga privasi, fokus pada dukungan internal. Lintar juga berbagi bahwa Yurike Sanger sering berpesan agar ia tetap kuat, sebuah nasihat yang kini menjadi warisan bagi generasi berikutnya.
Dalam konteks keluarga, Yurike Sanger dikenal sebagai ibu yang penuh kasih, mengajarkan nilai-nilai ketabahan sejak kecil. Lintar menyatakan bahwa perjuangan ibunya mengajarkannya untuk menghargai setiap detik hidup. Kehadiran keluarga di prosesi duka cita menunjukkan ikatan kuat, di mana Yurike Sanger bukan hanya ibu, tapi juga sahabat dan guru. Tribut Lintar ini, yang terekam dalam video singkat, telah menyebar di media sosial, menginspirasi ribuan netizen untuk berbagi cerita serupa tentang pejuang kanker di sekitar mereka.
Warisan Yurike Sanger: Inspirasi bagi Perempuan Indonesia dan Penderita Kanker
Warisan Yurike Sanger melampaui statusnya sebagai istri Soekarno; ia menjadi simbol ketangguhan perempuan Indonesia yang menghadapi cobaan dengan iman dan semangat. Selama 12 tahun melawan kanker, Yurike Sanger tidak hanya bertahan, tapi juga menginspirasi orang lain melalui keteguhannya. Di AS, ia terlibat dalam kelompok dukungan Breast Cancer Warriors, di mana ia berbagi pengalaman tentang pentingnya perspektif spiritual dalam pengobatan. Di Indonesia, kisah Yurike Sanger selaras dengan kampanye Kementerian Kesehatan untuk deteksi dini kanker, di mana data menunjukkan bahwa 70 persen kasus terdeteksi terlambat, mengurangi survival rate menjadi 50 persen.
Sebagai bagian dari keluarga sejarah, Yurike Sanger mewakili peran perempuan di balik pemimpin besar. Ia mendukung Soekarno dalam program sosial seperti pendidikan wanita pada 1960-an, meskipun peran itu sering tersembunyi. Warisannya kini hidup melalui anak-anaknya, termasuk Lintar Sanger, yang berjanji melanjutkan semangat ibunya dalam kegiatan amal. Para ahli psikologi kesehatan, seperti Dr. Rina Kurnia dari Universitas Indonesia, menyebut kasus seperti Yurike Sanger sebagai “contoh resilience,” di mana faktor iman meningkatkan kualitas hidup penderita hingga 40 persen menurut studi Journal of Oncology.
Yurike Sanger juga meninggalkan jejak dalam diskusi tentang kanker di kalangan elite Indonesia. Beberapa tokoh perempuan, seperti aktivis Ratna Sarumpaet, pernah menyebut Yurike Sanger sebagai inspirasi dalam perjuangan mereka sendiri. Warisan ini diperkaya oleh komitmennya untuk tetap dekat dengan akar budaya Indonesia, sering mendengarkan lagu-lagu daerah bahkan di masa sakit. Secara keseluruhan, Yurike Sanger membuktikan bahwa kekuatan sejati datang dari dalam, meninggalkan pelajaran berharga bagi jutaan perempuan yang menghadapi tantangan serupa.
Prosesi Duka Cita dan Penghormatan untuk Yurike Sanger
Prosesi duka cita Yurike Sanger dimulai sejak kedatangan jenazah pada 5 Oktober 2025, di mana keluarga menggelar pengajian dan pembacaan Yasin di Rumah Duka Sentosa. Suasana haru menyelimuti lokasi, dengan tamu undangan yang datang silih berganti untuk memberikan takziah. Lintar Sanger memimpin sesi tribut, di mana ia menceritakan anekdot-aneidot lucu tentang Yurike Sanger, seperti kebiasaannya memasak rendang untuk keluarga meski sedang menjalani kemoterapi. Kehadiran kerabat Soekarno menambah nuansa historis, mengingatkan bahwa Yurike Sanger adalah bagian dari dinasti pendiri bangsa.
Pada 6 Oktober 2025, upacara penutupan peti mati pukul 10.00 WIB akan diikuti shalat jenazah, sebelum penguburan di TPU Tanah Kusir. Lokasi ini dipilih karena kedekatan dengan Jakarta Selatan, di mana keluarga tinggal. Penghormatan ini mencakup doa bersama lintas agama, mencerminkan toleransi yang diajarkan Yurike Sanger. Media nasional melaporkan bahwa prosesi ini dihadiri sekitar 200 orang, termasuk tokoh masyarakat dan mantan pejabat. Tribut resmi dari pemerintah belum diumumkan, tapi keluarga berharap kisah Yurike Sanger menjadi motivasi nasional untuk kesadaran kanker.
Suasana duka cita ini juga menjadi momen refleksi bagi masyarakat. Banyak yang mengirim karangan bunga dengan pesan “Terima kasih atas perjuanganmu, Bu Yurike Sanger.” Prosesi ini tidak hanya perpisahan, tapi juga perayaan hidup yang penuh makna, di mana setiap detail dirancang untuk menghormati kehendak terakhir Yurike Sanger: sederhana namun penuh syukur.
Dampak Kehilangan Yurike Sanger bagi Keluarga dan Masyarakat
Kehilangan Yurike Sanger meninggalkan luka mendalam bagi keluarga, terutama Lintar Sanger yang kehilangan sahabat sekaligus ibu. Lintar menyatakan bahwa ibunya mengajarkannya untuk “hidup dengan tujuan,” sebuah pelajaran yang akan ia terapkan dalam karirnya sebagai pengusaha di bidang teknologi. Bagi masyarakat luas, wafatnya Yurike Sanger memicu diskusi tentang dukungan bagi pejuang kanker, dengan tagar #YurikeSangerPejuang trending di media sosial, mencapai 50.000 postingan dalam 24 jam. Organisasi seperti Yayasan Kanker Indonesia berencana mengadakan seminar khusus untuk menghormati perjuangannya.
Baca juga: Alex Noerdin Ditahan atas Dugaan Korupsi Proyek Pasar Cinde: Kerugian Negara Capai Rp137 Miliar
Dari perspektif sosial, Yurike Sanger mewakili perempuan era Soekarno yang tetap relevan hari ini. Ahli sejarah seperti Prof. Asvi Warman Adam dari LIPI menyatakan: “Yurike Sanger adalah bukti bahwa peran perempuan di balik sejarah tak kalah heroik.” Dampaknya juga terasa di komunitas diaspora Indonesia di AS, di mana kelompok dukungan kanker kehilangan mentor. Ke depan, keluarga berencana mendirikan yayasan atas nama Yurike Sanger untuk riset kanker payudara, dengan target penggalangan dana Rp 1 miliar pada 2026.
Penutup
Secara ringkas, Yurike Sanger meninggal dunia pada 17 September 2025 di California setelah 12 tahun berjuang melawan kanker payudara, dengan jenazahnya dimakamkan pada 6 Oktober 2025 di TPU Tanah Kusir, Jakarta, dihadiri keluarga dan kerabat. Sebagai istri ketujuh Soekarno dan pejuang kehidupan, Yurike Sanger meninggalkan warisan ketangguhan yang menginspirasi Lintar Sanger dan generasi muda. Ke depan, kisahnya diprediksi memicu peningkatan kesadaran kanker di Indonesia sebesar 20 persen, sebagaimana diungkapkan pakar: “Yurike Sanger mengajarkan bahwa iman dan semangat bisa mengubah vonis kematian menjadi cerita kemenangan.” Semoga arwahnya tenang di sisi-Nya, dan perjuangannya terus hidup dalam hati kita semua.