Site icon timebusinessesnews

Bisakah Indonesia Jadi Lumbung Pangan Dunia? Ini Kata Kepala Bapanas

Bisakah Indonesia Jadi Lumbung Pangan Dunia? Ini Kata Kepala Bapanas

Bisakah Indonesia Jadi Lumbung Pangan Dunia? Ini Kata Kepala Bapanas

Bisakah Indonesia menjadi lumbung pangan dunia? Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi ungkap strategi dan tantangan di balik ambisi besar ini.

Baca juga: MSCI Cabut Perlakuan Khusus, 3 Saham Milik Prajogo Pangestu Kini Bebas dari Pantauan Khusus

Indonesia Berambisi Jadi Lumbung Pangan Dunia

Indonesia terus mengejar visi menjadi lumbung pangan dunia, sebagaimana disampaikan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, di Jakarta pada 25 September 2025. Dalam wawancara dengan detikcom, Arief menjelaskan upaya pemerintah memperkuat ketahanan pangan melalui program strategis. Mengapa ambisi ini muncul, dan bagaimana Indonesia berencana mewujudkannya di tengah tantangan global?

Visi Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia

Presiden Prabowo Subianto telah mencanangkan visi besar agar Indonesia tidak hanya mencapai swasembada pangan, tetapi juga menjadi lumbung pangan dunia yang mampu mengekspor komoditas pangan ke berbagai negara. Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, menegaskan bahwa visi ini realistis, terutama karena Indonesia telah mencapai surplus produksi beras hingga 5 juta ton hingga April 2025, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). “Kami sudah surplus beras 5 juta ton. Ini menunjukkan potensi besar Indonesia untuk memenuhi kebutuhan domestik dan membantu negara lain,” ujar Arief, dikutip dari detikcom pada 25 September 2025.

Namun, Arief juga mengakui adanya tantangan, seperti menjaga stabilitas harga pangan di tingkat petani agar tidak anjlok saat produksi melimpah. Untuk itu, Bapanas bekerja sama dengan Perum Bulog sebagai pembeli siaga (standby buyer) untuk menyerap hasil panen petani dengan harga yang sesuai, seperti Rp6.500 per kilogram untuk gabah kering panen (GKP).

Strategi Menuju Lumbung Pangan Dunia

Untuk mewujudkan visi lumbung pangan dunia, pemerintah fokus pada dua strategi utama: intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan mengoptimalkan lahan tadah hujan dan rawa. “Lahan tadah hujan yang biasanya panen sekali setahun kini diairi dengan pompa agar bisa panen hingga tiga kali setahun. Lahan rawa juga dikeringkan untuk ditanami saat musim kemarau,” jelas Arief. Menurut data BPS, optimalisasi ini telah menambah 1,7 juta hektare lahan panen, menghasilkan tambahan produksi beras sekitar 5 juta ton.

Ekstensifikasi, di sisi lain, melibatkan pencetakan sawah baru di berbagai wilayah, seperti Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Ngawi, Jawa Timur. Program food estate di Kalimantan Tengah, yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan saat itu, Prabowo Subianto, pada 2020, menjadi salah satu langkah awal. Meski proyek ini sempat menuai kritik karena kegagalan proyek serupa di masa lalu, seperti di Merauke dan Bulungan, pemerintah kini berupaya memperbaiki pendekatan dengan melibatkan teknologi modern dan koordinasi lintas sektor.

Selain itu, Bapanas juga mendorong diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras. Menurut Direktori Konsumsi Pangan Nasional 2024, konsumsi beras mencapai 92 kg per kapita per tahun, sementara konsumsi pangan lokal seperti singkong (8,5 kg), ubi jalar (3,1 kg), dan sagu (0,6 kg) masih jauh tertinggal. “Kita harus memanfaatkan kekayaan pangan lokal untuk mendukung ketahanan pangan dan ekonomi desa,” kata Arief.

Tantangan dan Kritik terhadap Ambisi Ini

Meski optimistis, perjalanan menuju lumbung pangan dunia tidak tanpa hambatan. Pengamat pertanian seperti Dwi Andreas dan Hermanto Siregar dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengingatkan bahwa proyek food estate sebelumnya, seperti di Merauke (1,2 juta hektare) dan Kalimantan Tengah (1 juta hektare pada era Soeharto), gagal karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM), pendanaan, dan pengelolaan lahan rawa yang sulit. “Lebih baik mengoptimalkan lahan petani yang sudah ada daripada membuang anggaran untuk proyek besar yang berisiko gagal,” ujar Hermanto.

Selain itu, pemborosan pangan (food loss and waste) di Indonesia masih tinggi, mencapai 31% atau setara 23-48 juta ton antara 2000-2019, dengan kerugian ekonomi hingga Rp551 triliun. Arief menegaskan bahwa Bapanas sedang mengampanyekan “Stop Boros Pangan” untuk mengurangi pemborosan dan meningkatkan efisiensi produksi. “Kita tidak hanya perlu meningkatkan produksi, tetapi juga memastikan makanan tidak terbuang sia-sia,” tambahnya.

Krisis pangan global, seperti yang dialami Malaysia, Filipina, dan Jepang pada awal 2025, juga menjadi peringatan. Di Filipina, inflasi beras mencapai 24,4%, sementara Malaysia menghadapi kelangkaan beras lokal. Indonesia, dengan cadangan beras 2 juta ton di Bulog, dinilai berada dalam posisi lebih aman. Namun, Arief menekankan pentingnya menjaga stabilitas harga agar surplus produksi tidak merugikan petani.

Peran Bapanas dalam Ketahanan Pangan

Badan Pangan Nasional, yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 66 Tahun 2021, memiliki peran kunci dalam mengoordinasikan kebijakan pangan dan menjaga stabilitas harga. Arief menjelaskan bahwa Bapanas bekerja sama dengan BUMN seperti Bulog dan ID Food, serta pemerintah daerah, untuk memastikan pasokan pangan tetap cukup, terutama saat krisis. Salah satu program unggulan adalah Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), yang akan menyalurkan beras murah dalam 1-2 bulan ke depan untuk menekan kenaikan harga saat panen raya berakhir.

Bapanas juga mengusulkan anggaran tambahan Rp20,8 triliun untuk 2025, dengan alokasi utama untuk bantuan pangan beras (Rp16,68 triliun), daging ayam dan telur (Rp834,1 miliar), serta penyaluran SPHP untuk beras, jagung, dan kedelai. Anggaran ini diharapkan memperkuat cadangan pangan pemerintah (TPP) dan mendukung program seperti Makan Bergizi Gratis yang akan dikelola Badan Gizi Nasional.

Kolaborasi Lintas Sektor dan Dukungan Teknologi

Untuk mencapai visi lumbung pangan dunia, pemerintah melibatkan berbagai sektor, termasuk akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat. Direktur Kewaspadaan Pangan dan Gizi Bapanas, Nita Yulianis, menjelaskan bahwa kerja sama dengan universitas membantu menyusun kebijakan berbasis data ilmiah, sementara kolaborasi dengan pelaku usaha seperti jasa boga dan ritel memperkuat distribusi pangan. Bapanas juga menargetkan pembentukan 10.000 bank pangan di daerah untuk memaksimalkan potensi pangan lokal.

Baca juga: Bos CDIA Kembali Serok Saham Andre Khor Tambah Koleksi 4,25 Juta Lembar di Tengah Lonjakan Harga

Penggunaan teknologi modern juga menjadi fokus. Presiden Jokowi, dalam pidato pada 2020, menegaskan bahwa food estate tidak lagi menggunakan cara konvensional, melainkan teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi dari hulu ke hilir. Contohnya, penggunaan pompa irigasi dan sistem pengelolaan lahan rawa telah meningkatkan produktivitas lahan tadah hujan hingga dua kali lipat.

Dukungan dari Pemimpin dan Masyarakat

Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan optimismenya bahwa Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. Dalam acara panen raya di Bengkayang, Kalimantan Barat, pada 5 Juni 2025, ia menyatakan, “Indonesia akan membantu negara-negara yang kesulitan pangan, bukan karena sombong, tetapi untuk menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang terhormat.” Acara seperti #DemiIndonesia Mandiri Pangan di Ngawi pada 3 Maret 2025 juga menunjukkan kolaborasi antara pemerintah, petani, dan masyarakat untuk mendukung swasembada pangan.

Namun, pengamat seperti Rusli Abdullah dari INDEF mengingatkan bahwa keberhasilan proyek ini bergantung pada perencanaan matang dan keterlibatan petani perorangan, bukan hanya korporasi. “Pertanian adalah budaya petani, bukan sekadar proyek korporasi. Optimalkan lahan petani yang sudah ada,” ujarnya.

Penutup

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi lumbung pangan dunia, didukung oleh surplus beras 5 juta ton, optimalisasi lahan pertanian, dan program strategis Bapanas. Namun, tantangan seperti pemborosan pangan, sejarah kegagalan proyek food estate, dan kebutuhan SDM harus segera diatasi. Dengan kolaborasi lintas sektor, teknologi modern, dan dukungan petani, visi ini dinilai realistis, terutama dengan target swasembada pangan dalam 4-5 tahun ke depan. Ke depan, Indonesia diharapkan tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga menjadi solusi bagi krisis pangan global. Untuk informasi lebih lanjut, pantau laman resmi Bapanas

Exit mobile version