Alex Noerdin Ditahan atas Dugaan Korupsi Proyek Pasar Cinde: Kerugian Negara Capai Rp137 Miliar

Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel) secara resmi menahan Alex Noerdin, mantan Gubernur Sumatera Selatan, beserta tiga tersangka lain pada Kamis, 2 Oktober 2025, di Palembang, terkait dugaan korupsi proyek revitalisasi Pasar Cinde. Insiden ini melibatkan kerjasama pembangunan dengan nilai kerugian negara mencapai Rp137.722.947.614,40, seperti diungkap audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Penahanan dilakukan untuk mencegah hilangnya barang bukti dan pengaruh tersangka, dengan masa 20 hari di Rutan Kelas I-A Palembang—bagaimana kasus ketiga ini memengaruhi karier politik Alex Noerdin yang sudah berliku?

Baca juga: Megawati Soekarnoputri Rayakan Nostalgia di Hutan Wanagama UGM, Dapat Hadiah Bibit Jati Mega

Profil Alex Noerdin: Dari ASN Sukses hingga Hattrick Kasus Korupsi

Alex Noerdin, lahir 5 September 1963 di Palembang, Sumatera Selatan, memulai karier sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sumatera Selatan pada 1980-an. Kariernya melesat cepat: dari Kepala Bidang Ekonomi Bappeda hingga Sekretaris Daerah Provinsi pada 2000. Pada 2003, ia terpilih sebagai Wali Kota Palembang periode 2003-2008 melalui dukungan Partai Golkar, dan terpilih kembali untuk masa jabatan 2008-2013. Prestasinya di sektor infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol dan fasilitas umum, membuatnya naik kelas menjadi Gubernur Sumatera Selatan pada 2013-2018.

Namun, di balik kesuksesan itu, Alex Noerdin kerap tersandung isu hukum. Kasus pertama muncul pada 2010 terkait pengadaan gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel, di mana ia diduga terlibat mark-up harga yang merugikan negara hingga miliaran rupiah. Ia divonis 8 tahun penjara pada 2012, tapi bebas bersyarat pada 2017 setelah banding. Kasus kedua pada 2021 melibatkan penyimpangan dana hibah pembangunan masjid dan lagi-lagi pengadaan gas, yang membuatnya kembali berstatus tersangka. Kini, dengan penahanan terkait Pasar Cinde, ini menjadi “hattrick” bagi Alex Noerdin—sebuah catatan kelam yang menyoroti pola dugaan penyalahgunaan wewenang di proyek infrastruktur daerah.

Sebagai politikus senior Golkar, Alex Noerdin dikenal dengan kekayaan yang dilaporkan mencapai Rp200 miliar lebih pada LHKPN terakhirnya, termasuk tanah dan bangunan di Palembang. Keluarganya, termasuk istri dan anak-anak, juga aktif di bisnis lokal. Meski demikian, riwayat hukum ini telah merusak citranya sebagai pemimpin pembangunan, terutama di mata masyarakat Sumsel yang mengandalkan proyek seperti Pasar Cinde untuk kesejahteraan ekonomi.

Detail Proyek Pasar Cinde: Kerjasama yang Berujung Dugaan Korupsi

Proyek revitalisasi Pasar Cinde di Jalan Sudirman, Palembang, dimulai pada 2016 sebagai bagian dari upaya modernisasi pasar tradisional di Sumatera Selatan. Pasar ini, yang menjadi pusat perdagangan sejak era kolonial, direncanakan dikembangkan melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) jenis Bangun-Guna-Serah (BGS). Mitra utama adalah PT Magna Beatum (PT MB), perusahaan swasta yang bertanggung jawab atas pembangunan infrastruktur seperti gedung pedagang, parkir, dan utilitas.

Tuduhan korupsi muncul dari proses pemanfaatan lahan milik daerah seluas ribuan meter persegi. Penyidik Kejati Sumsel menduga adanya penyimpangan dalam penentuan nilai lahan, mark-up biaya konstruksi, dan alokasi dana yang tidak transparan selama periode 2016-2018. Audit BPKP Provinsi Sumatera Selatan mengungkap kerugian negara sebesar Rp137.722.947.614,40, terutama dari selisih antara anggaran yang dibayarkan dan nilai riil pekerjaan. Proyek ini seharusnya meningkatkan pendapatan daerah melalui retribusi pedagang, tapi kini malah menjadi beban litigasi.

Selain Alex Noerdin, tersangka lain termasuk Harnojoyo, mantan Wali Kota Palembang periode 2013-2018, yang diduga menyetujui kerjasama tanpa pengawasan ketat. Endang Hariyati (EH), Ketua Panitia Pengadaan Badan Usaha Mitra Kerjasama, dituduh memanipulasi dokumen lelang. Rinaldi Yustinus (RY), Kepala Cabang PT MB, terlibat dalam pelaporan fiktif kemajuan proyek. Sementara Ahmad Taufik (AT), Direktur Utama PT MB, masih buron sejak dicekal pada 2 Juli 2025 dan masuk DPO pada 20 Agustus 2025—diduga berada di luar negeri. Bukti yang diamankan meliputi dokumen kontrak, laporan keuangan, dan rekaman transaksi, yang diserahkan pada tahap II penyidikan.

Kasus ini menekankan kelemahan sistem KPBU di daerah, di mana koordinasi antara provinsi dan kota sering tumpang tindih. Data KPK menunjukkan, proyek infrastruktur seperti ini menyumbang 40% kasus korupsi di tingkat lokal pada 2024-2025, dengan kerugian rata-rata Rp100 miliar per kasus.

Kronologi Penangkapan dan Proses Hukum Alex Noerdin

Proses hukum dimulai pada Juni 2025, ketika Kejati Sumsel mengumumkan penetapan tersangka setelah pemeriksaan saksi kunci dari BPKP dan kontraktor. Pada 2 Juli 2025, Alex Noerdin dan rekannya ditetapkan sebagai tersangka, diikuti penggeledahan rumah dan kantor pada 11 Juli 2025. Berkas perkara dinyatakan lengkap pada akhir September, memasuki tahap II.

Puncaknya pada 2 Oktober 2025, Kejati Sumsel menyerahkan empat tersangka beserta 15 jenis barang bukti ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Palembang. Penahanan berlangsung di Rutan Kelas I-A Palembang hingga 21 Oktober 2025, untuk mencegah manipulasi saksi atau pelarian. Selanjutnya, JPU akan menyusun dakwaan berdasarkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

Alex Noerdin, yang sedang menjalani hukuman sisa dari kasus sebelumnya secara bersyarat, kini menghadapi komplikasi ganda. Kuasa hukumnya menyatakan akan mengajukan praperadilan jika diperlukan, tapi penyidik optimis kasus ini akan tuntas di Pengadilan Tipikor Palembang Kelas IA Khusus.

Respons Pihak Berwenang dan Dampak Publik

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumsel, Vanny Yulia Eka Sari, S.H., M.H., menegaskan komitmen penegakan hukum. “Keempat tersangka akan menjalani penahanan terhitung mulai 2 Oktober 2025 hingga 21 Oktober 2025. Setelah tahap II ini, penanganan perkara beralih sepenuhnya ke Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Palembang,” katanya. Ia menambahkan, “Kami pastikan penanganan perkara ini akan segera dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor agar segera dapat diadili secara terbuka dan tuntas.”

Dampaknya luas bagi masyarakat Palembang. Pasar Cinde, yang seharusnya menjadi ikon ekonomi dengan 1.000 pedagang, kini terbengkalai sebagian, menyebabkan penurunan pendapatan hingga 30% menurut data Dinas Perdagangan Sumsel. Aktivis antikorupsi seperti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyambut baik penahanan ini, tapi menyerukan pemulihan aset negara segera. “Kasus Alex Noerdin ini bukti bahwa tidak ada yang kebal hukum, tapi pemulihan kerugian harus prioritas,” ujar pakar hukum pidana dari Universitas Sriwijaya.

Kasus Korupsi Serupa: Pelajaran dari Proyek Infrastruktur Daerah

Kasus Alex Noerdin bukan yang pertama di Sumatera Selatan. Pada 2023, mantan pejabat provinsi terjerat korupsi bendungan, dengan kerugian Rp50 miliar. Secara nasional, KPK mencatat 250 kasus Tipikor pada 2025, mayoritas di sektor infrastruktur, dengan total kerugian Rp10 triliun. Ini menunjukkan perlunya reformasi pengadaan barang dan jasa, seperti e-procurement wajib dan audit real-time.

Baca juga: Cantika Davinca Kecelakaan Maut di Magetan: Dua Remaja Tewas, Penyanyi Selamat Tanpa Luka

Di tingkat provinsi, Gubernur Herman Deru telah menginstruksikan review semua proyek KPBU untuk mencegah kejadian serupa. Analis politik memprediksi, kasus ini bisa memengaruhi dinamika Golkar di Sumsel menjelang Pilkada 2027.

Penutup: Alex Noerdin Hadapi Sidang, Harapan Pemulihan Aset Negara

Singkatnya, penahanan Alex Noerdin pada 2 Oktober 2025 menandai kemajuan kasus korupsi Pasar Cinde yang merugikan negara Rp137 miliar, melibatkan mantan pejabat tinggi dan swasta. Dengan satu tersangka buron, proses hukum kini bergantung pada dakwaan JPU untuk sidang terbuka di Pengadilan Tipikor Palembang.

Ke depan, prediksi menunjukkan vonis berat bagi Alex Noerdin mengingat riwayatnya, potensial tambah hukuman hingga 20 tahun. Kutipan dari Vanny Yulia Eka Sari relevan: “Penegakan hukum harus tuntas untuk keadilan.” Apakah ini akhir era korupsi di proyek daerah? Pantau perkembangan untuk wawasan lebih dalam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *