Sidang Perdana Kasus Korupsi Pagar Laut Desa Kohod Digelar 30 September

Sidang perdana kasus dugaan korupsi pagar laut di Desa Kohod, Tangerang, dijadwalkan pada 30 September 2025 di PN Serang. Simak detail terdakwa dan kronologi kasusnya!

Baca juga: Persiapan HUT Ke-80 TNI Capai 80 Persen, Siap Digelar Meriah

Sidang Kasus Pagar Laut Desa Kohod Dimulai

Pengadilan Negeri (PN) Serang akan menggelar sidang perdana kasus dugaan korupsi pembangunan pagar laut di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten, pada 30 September 2025. Sidang ini melibatkan empat terdakwa, termasuk Kepala Desa Kohod Arsin bin Asip dan Sekretaris Desa Ujang Karta, yang diduga memalsukan dokumen tanah untuk menguasai lahan pesisir. Kasus ini, yang terdaftar dengan nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN Srg, menarik perhatian karena dampaknya terhadap nelayan lokal.

Latar Belakang Kasus Pagar Laut di Desa Kohod

Kasus dugaan korupsi pembangunan pagar laut di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, menjadi sorotan setelah terungkap adanya dugaan pemalsuan dokumen untuk menguasai lahan pesisir. Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer ini diduga merugikan nelayan lokal karena membatasi akses mereka ke laut. Bareskrim Polri, bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), menetapkan empat tersangka setelah mengungkap pemalsuan dokumen Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) dengan mencatut identitas warga Desa Kohod.

Juru Bicara PN Serang, Mohamad Ichwanudin, menyatakan bahwa berkas perkara telah diterima pada 23 September 2025. “Kasus ini terdaftar dengan nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN Srg, dan sidang perdana dijadwalkan pada 30 September 2025,” ujarnya pada 26 September 2025.

Terdakwa dan Dakwaan dalam Sidang

Sidang perdana kasus Desa Kohod akan menghadirkan empat terdakwa: Kepala Desa Kohod Arsin bin Asip, Sekretaris Desa Ujang Karta, serta dua pihak swasta, Septian Prasetyo dan Chandra Eka Agung Wahyudi. Mereka didakwa melakukan pemalsuan dokumen tanah untuk menguasai lahan pesisir yang kemudian dipagari, yang diduga melibatkan tindak pidana korupsi dan pencucian uang (TPPU). Majelis hakim yang dipimpin oleh Hasanuddin, dengan anggota Arwin Kusmanta dan Ewirta Lista, akan memeriksa perkara ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Serang.

Menurut Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, pada 18 Februari 2025, pemalsuan dilakukan dengan mencatut identitas warga Desa Kohod untuk memperoleh hak atas tanah. “Dokumen-dokumen ini digunakan untuk menguasai lahan pesisir secara tidak sah,” katanya.

Dampak Pagar Laut bagi Nelayan Lokal

Pembangunan pagar laut di Desa Kohod telah memicu protes dari nelayan lokal sejak awal 2025. Pagar sepanjang 30,16 kilometer ini membatasi akses nelayan ke perairan, yang berdampak pada penurunan pendapatan mereka. Ombudsman RI bahkan mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membongkar pagar laut tersebut karena dianggap ilegal dan merugikan masyarakat.

Anggota DPR RI juga menyoroti lambannya penanganan kasus ini, menekankan perlunya pengusutan menyeluruh untuk melindungi hak nelayan. “Kasus ini harus diusut tuntas demi keadilan bagi nelayan Desa Kohod,” ujar salah satu anggota Komisi IV DPR pada April 2025. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) turut menyelidiki dampak lingkungan dari proyek ini, menambah dimensi kompleksitas kasus.

Proses Hukum dan Penyelidikan

Penegakan hukum terhadap kasus Desa Kohod dimulai sejak Bareskrim Polri melakukan gelar perkara pada Februari 2025. Penyelidikan mengungkap adanya dugaan tindak pidana korupsi dan TPPU, yang melibatkan pemalsuan dokumen untuk memperoleh lahan pesisir. Kejaksaan Negeri Tangerang juga memusnahkan sejumlah barang bukti terkait kasus ini, termasuk dokumen-dokumen palsu, sebagai bagian dari proses hukum.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) turut melaporkan oknum perangkat desa di tiga kecamatan di Tangerang, termasuk Desa Kohod, atas dugaan keterlibatan dalam pemalsuan sertifikat tanah. Ketua MAKI, Boyamin Saiman, menyatakan bahwa laporan ini bertujuan memastikan semua pihak yang terlibat bertanggung jawab.

Peran Pengadilan Tipikor Serang

Sidang di PN Tipikor Serang akan menjadi babak baru dalam pengusutan kasus Desa Kohod. Pengadilan ini dikenal memiliki sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) yang transparan, memungkinkan publik memantau perkembangan sidang. Sidang perdana pada 30 September 2025 akan fokus pada pembacaan dakwaan, diikuti oleh pemeriksaan saksi pada sidang-sidang berikutnya.

Juru Bicara PN Serang, Mohamad Ichwanudin, menegaskan bahwa sidang akan berlangsung di ruang sidang utama pada pukul 10.00 WIB. “Kami telah melakukan pengecekan melalui SIPP untuk memastikan kesiapan sidang,” katanya. Pengadilan ini juga menerapkan standar pelayanan “CERDAS” (Cepat, Efisien, Responsif, Disiplin, Akuntabel, dan Sopan), yang diharapkan memastikan proses hukum berjalan adil dan transparan.

Konteks Lebih Luas: Korupsi di Sektor Pesisir

Kasus Desa Kohod mencerminkan masalah yang lebih luas terkait pengelolaan lahan pesisir di Indonesia. Pemalsuan dokumen tanah untuk menguasai lahan pesisir bukanlah kasus baru, tetapi kasus ini menarik perhatian karena skala dampaknya terhadap masyarakat lokal, khususnya nelayan. Menurut data Kementerian ATR/BPN, ribuan hektare lahan pesisir di Indonesia rawan disalahgunakan akibat lemahnya pengawasan dan koordinasi antarinstansi.

Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai bahwa kasus seperti di Desa Kohod menunjukkan perlunya reformasi dalam pengelolaan hak atas tanah. “Korupsi di sektor pesisir sering kali melibatkan kolusi antara oknum pejabat dan pihak swasta. Pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas,” ujarnya.

Harapan Nelayan dan Masyarakat

Nelayan di Desa Kohod berharap sidang ini dapat mengembalikan hak mereka atas akses perairan. Seorang nelayan lokal, Ahmad, menyatakan bahwa pagar laut telah membuat pendapatannya turun drastis. “Kami tidak bisa melaut seperti dulu. Kami harap kasus ini selesai dan pagar dibongkar,” katanya. Aspirasi ini juga didukung oleh berbagai organisasi masyarakat sipil yang menyerukan keadilan bagi komunitas nelayan.

Baca juga: Pidato Benjamin Netanyahu di PBB Soroti Prabowo dan Picu Aksi Walkout

DPR RI, melalui Komisi IV, telah mendesak pemerintah untuk mempercepat penyelesaian kasus ini dan memastikan kompensasi bagi nelayan yang terdampak. “Pemerintah harus hadir untuk melindungi rakyat kecil, terutama nelayan yang kehilangan mata pencaharian,” ujar anggota DPR pada April 2025.

Peran Media dan Publik

Kasus Desa Kohod juga mendapat perhatian luas dari media, termasuk Radio Republik Indonesia (RRI), yang telah melaporkan perkembangan penyelidikan sejak awal 2025. RRI, sebagai media publik tertua di Indonesia, didirikan pada 11 September 1945 dan dikenal dengan motto Tri Prasetya RRI, berkomitmen menyampaikan informasi yang akurat dan terpercaya. Pelaporan RRI tentang kasus ini membantu meningkatkan kesadaran publik tentang isu korupsi di sektor pesisir.

Media lain, seperti Viva.co.id dan Krusial.com, juga turut memberitakan sidang perdana ini, menyoroti pentingnya transparansi dalam proses hukum. Publik dapat mengakses informasi sidang melalui SIPP PN Serang, yang memungkinkan pemantauan jadwal dan putusan secara daring.

Menanti Keadilan untuk Desa Kohod

Sidang perdana kasus dugaan korupsi pagar laut di Desa Kohod pada 30 September 2025 menjadi langkah awal untuk mengungkap kebenaran di balik pemalsuan dokumen tanah yang merugikan nelayan. Dengan empat terdakwa yang akan menghadapi dakwaan di PN Tipikor Serang, kasus ini diharapkan membawa keadilan bagi masyarakat Desa Kohod dan menjadi preseden bagi penanganan kasus serupa di masa depan.

Ke depan, penegakan hukum yang transparan dan tegas akan menjadi kunci untuk mengatasi korupsi di sektor pesisir. Dengan perhatian dari DPR, media, dan masyarakat, kasus Desa Kohod dapat menjadi titik balik untuk memperbaiki tata kelola lahan pesisir dan melindungi hak-hak nelayan. Seperti yang dikatakan oleh Boyamin Saiman dari MAKI, “Keadilan harus ditegakkan untuk memastikan tidak ada lagi korupsi yang merugikan rakyat kecil.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *