Tony Blair Dicalonkan untuk Pimpin Transisi Gaza
Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, diusulkan untuk memimpin pemerintahan transisi di Gaza, Palestina, pasca berakhirnya konflik Israel-Hamas. Usulan ini muncul dalam pembahasan di New York pada September 2025, didukung oleh Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump. Tony Blair akan memimpin Otoritas Transisi Internasional Gaza (GITA), sebuah badan yang dirancang untuk mengelola wilayah tersebut selama lima tahun sebelum menyerahkan kendali kepada Otoritas Palestina. Rencana ini, yang mengadopsi model transisi Timor Leste dan Kosovo, bertujuan membangun kembali Gaza, meski menuai pro dan kontra.
Baca juga: Pidato Benjamin Netanyahu di PBB Soroti Prabowo dan Picu Aksi Walkout
Latar Belakang Usulan Tony Blair sebagai Pemimpin GITA
Pada 23 September 2025, Presiden AS Donald Trump bertemu dengan sejumlah pemimpin negara Arab dan Muslim, termasuk Presiden Indonesia Prabowo Subianto, di markas PBB di New York. Pertemuan ini membahas rencana pascaperang untuk Gaza, dengan Tony Blair sebagai kandidat utama untuk memimpin GITA. Menurut laporan BBC, Tony Blair telah terlibat dalam diskusi tingkat tinggi dengan AS, negara-negara Teluk, dan pihak internasional lainnya untuk merancang masa depan Gaza. GITA akan beroperasi dengan mandat PBB sebagai otoritas politik dan hukum tertinggi di Gaza selama periode transisi.
Badan ini awalnya akan berbasis di el-Arish, Mesir, dekat perbatasan selatan Gaza, sebelum berpindah ke Gaza saat kondisi keamanan memungkinkan. Rencana ini mengacu pada model pemerintahan transisi di Timor Leste dan Kosovo, yang berhasil membawa stabilitas pascakonflik. Tony Blair, yang memiliki pengalaman sebagai utusan khusus Timur Tengah setelah mengundurkan diri sebagai PM pada 2007, dianggap memiliki kapabilitas untuk tugas ini.
Struktur dan Tujuan Otoritas Transisi Gaza
GITA dirancang sebagai badan dengan sekretariat beranggotakan hingga 25 orang dan dewan pengawas tujuh orang, yang akan mengelola administrasi Gaza. Menurut The Economist, badan ini akan berupaya mendapatkan mandat PBB untuk menjadi otoritas tertinggi selama lima tahun, sebelum menyerahkan kendali penuh kepada Otoritas Palestina di Ramallah. Tujuannya adalah membangun kembali infrastruktur Gaza, memperbaiki ekonomi, dan mempersiapkan dasar bagi negara Palestina yang diakui 151 negara.
Tony Blair menegaskan bahwa ia tidak akan mendukung rencana yang menggusur warga Gaza. Fokusnya adalah memastikan stabilitas dan pembangunan tanpa memaksa relokasi penduduk. Proposal ini juga melibatkan pasukan penjaga perdamaian multinasional yang dipimpin negara-negara Arab untuk menjaga keamanan selama transisi. Namun, beberapa diplomat Barat menyebutkan bahwa masa mandat GITA mungkin hanya dua tahun, tergantung pada kemajuan negosiasi damai dan kesepakatan pembebasan sandera.
Kontroversi dan Tantangan Rencana Tony Blair
Keterlibatan Tony Blair dalam rencana ini tidak lepas dari kontroversi. Sebagai PM Inggris (1997–2007), Blair dikenal atas perannya dalam invasi Irak 2003 bersama AS, yang menuai kritik global karena didasarkan pada klaim keliru tentang senjata pemusnah massal. Keputusan ini menyebabkan kekacauan di Irak, dan banyak pihak mempertanyakan kredibilitas Blair untuk memimpin transisi di Gaza. Selain itu, pengalamannya dalam Perjanjian Jumat Agung 1998 di Irlandia Utara menunjukkan kemampuan negosiasi, namun Gaza dianggap sebagai tantangan yang jauh lebih kompleks.
Pemerintah Israel, di bawah PM Benjamin Netanyahu, dikabarkan khawatir bahwa rencana ini dapat membatasi keterlibatan Otoritas Palestina di Gaza. Sementara itu, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menolak peran Hamas dalam pemerintahan Gaza masa depan dan menuntut kelompok tersebut dilucuti. Konflik sejak Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 65.500 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, menambah urgensi solusi pascaperang.
Negara-negara Arab dan Israel juga menyuarakan kekhawatiran bahwa rencana ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Misalnya, beberapa pihak menduga Netanyahu mungkin menggunakan GITA untuk menunda keterlibatan Otoritas Palestina. Namun, dukungan dari negara-negara Teluk dan PBB memberikan legitimasi awal pada usulan ini.
Peran Tony Blair di Timur Tengah
Tony Blair memiliki sejarah panjang di Timur Tengah. Setelah mengundurkan diri sebagai PM, ia menjabat sebagai utusan khusus Quartet untuk Timur Tengah (2007–2015), fokus pada pengembangan ekonomi dan institusi Palestina. Meski berhasil menarik investasi, hasil kerjanya saat itu dianggap terbatas karena konflik yang terus berlanjut. Kini, melalui Tony Blair Institute, ia kembali terlibat dalam upaya perdamaian, termasuk pembahasan dengan Jared Kushner, menantu Trump, yang turut merancang proposal GITA.
Pengalaman Blair dianggap sebagai aset, terutama karena keberhasilannya dalam negosiasi perdamaian Irlandia Utara. Namun, skeptisisme muncul akibat rekam jejaknya di Irak dan pertanyaan apakah ia dapat menangani dinamika kompleks Gaza, termasuk hubungan dengan Hamas, Otoritas Palestina, dan Israel.
Dukungan dan Langkah Selanjutnya
Rencana ini mendapat dukungan awal dari Gedung Putih, yang memasukkan GITA sebagai bagian dari “Trump 21-point plan for peace” di Timur Tengah. Pertemuan Trump dengan pemimpin Arab, termasuk Prabowo Subianto, menunjukkan upaya diplomatik untuk menyamakan persepsi. Selain itu, usulan ini muncul bersamaan dengan Deklarasi New York di Sidang Umum PBB, yang mengusulkan pemerintahan teknokrat di Gaza selama satu tahun sebelum pemilu Palestina.
Baca juga: Bakteri Jadi Penyebab Utama Kasus Keracunan MBG di Indonesia
Namun, keberhasilan rencana ini bergantung pada gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan sandera. Jika disetujui, GITA akan mulai beroperasi dari Mesir, didukung oleh pasukan penjaga perdamaian. Tantangan terbesar adalah memastikan stabilitas di Gaza, yang telah hancur akibat perang, sekaligus menjaga kepercayaan semua pihak.
Penutup: Harapan dan Tantangan bagi Tony Blair
Usulan menempatkan Tony Blair sebagai pemimpin pemerintahan transisi di Gaza menawarkan harapan untuk stabilitas pascaperang, namun juga menghadapi tantangan besar. Dengan pengalaman diplomasinya, Blair dianggap mampu memimpin GITA untuk membangun kembali Gaza, tetapi rekam jejaknya di Irak dan kerumitan konflik Gaza memicu keraguan. Rencana ini memerlukan dukungan luas dari PBB, negara-negara Teluk, dan komunitas internasional untuk berhasil. Ke depan, keberhasilan GITA akan bergantung pada gencatan senjata dan komitmen untuk mencegah penggusuran warga Gaza, seperti yang ditegaskan Blair. “Kami ingin Gaza bangkit sebagai wilayah yang stabil dan sejahtera, bukan hanya sebagai zona konflik,” ujar sumber dekat Blair, menurut The Economist.