Pada Kamis, 2 Oktober 2025, Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden Indonesia ke-5, mengunjungi Hutan Wanagama milik Universitas Gadjah Mada (UGM) di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kunjungan ini menjadi momen nostalgia bagi Megawati Soekarnoputri, yang 20 tahun lalu—saat menjabat presiden—memberikan bantuan untuk pengembangan hutan dan pemuliaan jati. Sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri menerima bibit Jati Mega sebagai oleh-oleh dari Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, untuk melambangkan warisan lingkungannya. Acara ini bagian dari rangkaian kunjungan Megawati Soekarnoputri ke Yogyakarta, termasuk ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dengan tujuan memperkuat komitmen pelestarian alam melalui kolaborasi pemerintah dan akademisi.
Baca juga: Hacker Bjorka Aktif di Dark Web Sejak 2020, Sering Ganti Nama untuk Hindari Penangkapan
Profil Megawati Soekarnoputri: Dari Putri Bung Karno Hingga Pemimpin Lingkungan
Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta pada 23 Januari 1947, sebagai putri sulung dari Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dan Ibu Fatmawati. Sejak muda, Megawati dikenal sebagai figur yang dekat dengan akar budaya dan alam Nusantara, meski sempat menolak tawaran ayahnya untuk kuliah di UGM dengan alasan “nanti saya kuper”. Perjalanan politik Megawati dimulai pada era Reformasi 1998, ketika ia menjadi Wakil Presiden di bawah Abdurrahman Wahid sebelum naik tahta sebagai presiden pada 2001—menjadi perempuan pertama yang memimpin Indonesia hingga 2004.
Selama masa kepresidenan Megawati, fokus pada pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu prioritas, termasuk inisiatif lingkungan seperti rehabilitasi hutan pasca-krisis 1998. Kini, sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati terus aktif dalam advokasi isu nasional, termasuk pelestarian hayati. Kunjungan terbarunya ke Yogyakarta pada Oktober 2025 mencerminkan komitmen berkelanjutan Megawati terhadap isu lingkungan, di mana ia tidak hanya bernostalgia tapi juga menanam pohon Bodhi di kampus UGM sebagai simbol dukungan terhadap keanekaragaman hayati.
Dalam konteks Megawati , momen di Hutan Wanagama bukan sekadar kunjungan pribadi, melainkan pengingat akan kontribusi konkretnya bagi kehutanan nasional. Seperti yang sering disampaikan Megawati, “Lingkungan adalah warisan untuk generasi mendatang,” sebuah pesan yang kini semakin relevan di tengah ancaman deforestasi di Indonesia.
Sejarah Hutan Wanagama: Dari Tanah Gundul Menuju Ikon Pendidikan Lingkungan UGM
Hutan Wanagama, yang terletak di Desa Banaran, Kecamatan Playen, Gunungkidul, merupakan salah satu keberhasilan restorasi hutan terbesar di Indonesia. Dibangun pada 1964 oleh Fakultas Kehutanan UGM di lahan gundul seluas 592 hektar, inisiatif ini dipimpin oleh delapan rimbawan perintis, termasuk Prof. Soedjarwo, yang melihat potensi Gunungkidul sebagai laboratorium hidup untuk pendidikan kehutanan. Nama “Wanagama” pertama kali muncul pada 10 Juli 1966, terinspirasi dari pepatah Jawa “wana” (hutan) dan “gama” (kampung), melambangkan harmoni antara manusia dan alam.
Pembangunan Hutan Wanagama dimulai dari nol: tanah kering yang dulunya bekas tambang kapur direboisasi dengan berbagai spesies pohon, termasuk jati, mahoni, dan trembesi. Hingga kini, kawasan ini membentang seluas lebih dari 1.000 hektar, dengan Wanagama I sebagai pusat pendidikan dan Wanagama II sebagai zona konservasi. Sebagai hutan pendidikan, Wanagama menunjang penelitian UGM, wisata edukasi, dan ekowisata, menarik ribuan pengunjung setiap tahun. Pada 2025, museum Wanagama baru diresmikan, memamerkan koleksi artefak restorasi, termasuk foto-foto kunjungan tokoh nasional seperti Megawati Soekarnoputri.
Kunjungan Megawati ke Hutan Wanagama pada 2 Oktober 2025 menambah babak baru dalam sejarahnya. Bersama Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Megawati Soekarnoputri menelusuri jalur setapak, mengamati pepohonan yang tumbuh subur berkat upaya kolektif. “Hutan ini adalah bukti bahwa dengan tekad, tanah tandus bisa hijau kembali,” kata Sigit Sunarta, yang menekankan peran Wanagama sebagai model restorasi nasional.
Nostalgia Megawati Soekarnoputri: Kontribusi 20 Tahun Silam di Wanagama
Dua dekade lalu, pada 2005, Megawati Soekarnoputri—masih menjabat presiden—mengunjungi Hutan Wanagama dengan agenda konkret: memberikan bantuan pembangunan sumur bor untuk irigasi dan dana untuk program pemuliaan jati. Kunjungan itu bukan sekadar seremonial; Megawati Soekarnoputri secara langsung mendukung inisiatif Fakultas Kehutanan UGM dalam mengembangkan varietas unggul jati, yang kini dikenal sebagai Jati Mega. “Bu Mega pernah berkunjung ke sini 20 tahun yang lalu, di mana beliau membantu kami untuk sumur bor, sekaligus juga untuk pengembangan pemuliaan jati,” ungkap Sigit Sunarta saat ditemui di lokasi pada 2 Oktober 2025.
Pada kunjungan terbaru, Megawati Soekarnoputri langsung menuju Petak 13, di mana pohon Jati Mega berusia 21 tahun berdiri gagah. Ia mengecek kondisi pohon-pohon itu, bernostalgia tentang masa lalu, dan bahkan menandatangani bingkai foto kunjungan 2005 sebagai kenangan. Momen ini emosional bagi Megawati Soekarnoputri, yang melihat langsung hasil dari investasinya: pohon yang dulu bibit kini menjulang tinggi, berkontribusi pada ekosistem lokal.
Kontribusi Megawati Soekarnoputri saat itu selaras dengan visi nasionalnya untuk rehabilitasi hutan pasca-bencana. Saat itu, Indonesia menghadapi deforestasi parah, dan bantuan Megawati Soekarnoputri membantu Wanagama mencapai target penanaman 500.000 bibit per tahun. Kini, dengan pengalaman itu, Megawati Soekarnoputri terus mendorong kebijakan hijau melalui PDI Perjuangan, termasuk kampanye reboisasi di daerah rawan.
Jati Mega: Varietas Unggul Hasil Inovasi UGM yang Didanai Megawati Soekarnoputri
Jati Mega bukan sembarang bibit; ia merupakan hasil rekayasa genetik unggul dari Fakultas Kehutanan UGM, dinamai sebagai penghormatan atas dukungan Megawati. Dikembangkan sejak 2004 dengan dana dari kunjungan presiden saat itu, Jati Mega berasal dari seleksi klon jati lokal yang tahan kekeringan dan tumbuh lebih cepat. “Sebetulnya ada materi genetik yang dikembangkan dan diberi nama Jati Mega. Dan Jati Mega ini sudah ditanam di sini umurnya 21 tahun, sekarang ada di petak 13,” jelas Sigit Sunarta.
Pada 2 Oktober 2025, bibit Jati Mega diserahkan kepada Megawati Soekarnoputri sebagai oleh-oleh simbolis. “Itu adalah bibit hasil pengembangan yang dulu dibiayai oleh beliau. Kita namakan Jati Mega, ini sekarang masih tetap terus diproduksi dan itu ditanam di beberapa tempat,” tambah Sunarta. Saat ini, Jati Mega telah menyebar ke berbagai wilayah: 5 hektar di Petak 13 Wanagama, serta lahan di Blora dan Ngawi, Jawa Timur, dengan total penanaman mencapai ratusan hektar.
Inovasi Jati Mega lahir dari penelitian UGM yang fokus pada adaptasi iklim. Di tengah perubahan cuaca ekstrem, varietas ini menawarkan solusi berkelanjutan untuk industri kayu Indonesia, yang bergantung pada jati sebagai komoditas ekspor utama.
Keunggulan Jati Mega dan Dampaknya bagi Pelestarian Hutan Nasional
Apa yang membuat Jati Mega istimewa? Menurut Sigit Sunarta, keunggulannya terletak pada laju pertumbuhan. “Kelebihannya itu dalam waktu umur, misalkan 20 tahun yang sekarang bisa kita lihat itu, kalau jati biasa umurnya kurang lebih 60 tahun. Sangat lebih cepat. Memang itu keunggulan dari Jati Mega,” katanya. Pohon Jati Mega mencapai diameter batang lebih besar dalam waktu singkat, menghasilkan kayu lurus dan panjang yang ideal untuk furnitur dan konstruksi, sambil menyerap karbon lebih efisien.
Dalam skala nasional, Jati Mega mendukung program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), yang menargetkan 12,7 juta hektar pada 2024-2026. Kontribusi Megawati melalui pendanaan awal ini telah menginspirasi replikasi di daerah lain, mengurangi tekanan pada hutan alam. Di Wanagama saja, varietas ini telah menstabilkan erosi tanah di Gunungkidul, yang dulu dikenal sebagai “kuburan air” karena kekeringan kronis.
Lebih luas, inisiatif seperti ini selaras dengan komitmen Indonesia di COP29 untuk net zero emission 2060. Megawati Soekarnoputri, dengan pengalamannya, sering menekankan peran kehutanan dalam mitigasi iklim, membuat Jati Mega menjadi model sukses kolaborasi pemerintah-akademisi.
Pesan Megawati Soekarnoputri: Jaga Hutan Wanagama sebagai Warisan Penelitian
Di akhir kunjungan, Megawati Soekarnoputri menyampaikan pesan tegas: “Kawasan Hutan Wanagama sebagai hutan penelitian harus terus dijaga.” Ia menekankan pentingnya pendidikan lingkungan bagi generasi muda, agar Wanagama tetap menjadi laboratorium hidup UGM. Bersama Hasto Kristiyanto, Megawati Soekarnoputri juga berdiskusi tentang potensi ekowisata, yang bisa mendongkrak ekonomi lokal Gunungkidul tanpa merusak ekosistem.
Pesan ini datang di tengah kunjungan Megawati Soekarnoputri ke BRIN Gunungkidul, di mana ia mendorong peneliti untuk “bersemangat dan menggelorakan rasa nasionalis”. Secara keseluruhan, rangkaian kegiatan di Yogyakarta pada Oktober 2025 memperkuat citra Megawati Soekarnoputri sebagai pemimpin yang peduli lingkungan, melanjutkan legasi ayahnya dalam membangun Indonesia hijau.
Konteks Kunjungan Megawati Soekarnoputri di Yogyakarta: Dari BRIN hingga Penanaman Pohon Bodhi
Kunjungan Megawati Soekarnoputri ke Hutan Wanagama merupakan puncak dari itinerary dua hari di Yogyakarta. Sehari sebelumnya, pada 1 Oktober 2025, ia menghadiri acara di BRIN Gunungkidul, memberikan arahan kepada ilmuwan untuk inovasi berbasis nasionalisme. Tak ketinggalan, Megawati Soekarnoputri menanam pohon Bodhi di kampus UGM, simbol Buddha yang melambangkan pencerahan dan pelestarian hayati.
Kegiatan ini juga melibatkan tokoh PDI Perjuangan seperti Hasto, yang ikut bernostalgia di Wanagama. Dalam era pasca-pandemi, kunjungan Megawati Soekarnoputri menyoroti peran partai dalam isu berkelanjutan, terutama menjelang Pemilu 2029. Analis politik menyebut, langkah ini memperkuat positioning Megawati Soekarnoputri sebagai figur ibu bangsa yang visioner.
Kunjungan Megawati Soekarnoputri ke Yogyakarta bukan hanya nostalgia pribadi, tapi juga panggilan untuk aksi kolektif. Dengan dukungan dari UGM, inisiatif seperti Jati Mega bisa direplikasi nasional, mendukung target 600.000 hektar reboisasi tahunan.
Kunjungan Megawati Soekarnoputri ke Hutan Wanagama pada 2 Oktober 2025 menjadi simbol abadi kontribusi sang mantan presiden bagi pelestarian alam Indonesia. Dari bantuan 20 tahun silam hingga penerimaan bibit Jati Mega hari ini, Megawati Soekarnoputri terus menginspirasi generasi baru untuk menjaga hutan sebagai warisan. Ke depan, varietas unggul ini berpotensi merevolusi kehutanan nasional, dengan prediksi peningkatan penanaman hingga 20% di Jawa Timur. Seperti kata pakar kehutanan UGM, “Megawati Soekarnoputri bukan hanya presiden, tapi juga penanam benih masa depan.” Pantau terus kiprah Megawati Soekarnoputri dalam advokasi lingkungan untuk Indonesia yang lebih hijau.